Sabtu, 09 Maret 2013

Perkembangan Teknologi Komunikasi ‘Teori Utopia dan Teori Determinisme


 
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Determinisme teknologi dapat diartikan bahwa setiap kejadian atau tindakan yang dilakukan manusia itu akibat pengaruh dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut tidak jarang membuat manusia bertindak di luar kemauan sendiri. Pada awalnya, manusialah yang membuat teknologi, tetapi lambat laun teknologilah yang justru memengaruhi setiap apa yang dilakukan manusia. Zaman dahulu belum ada Hand Phone dan internet. Tanpa ada dua perangkat komunikasi itu keadaan manusia biasa saja. Tetapi sekarang dengan ketergantungan pada dua perangkat itu manusia jadi sangat tergantung.
Pencetus teori determinisme teknologi ini adalah Marshall McLuhan pada tahun 1962 melalui tulisannya The Guttenberg Galaxy : The Making of Typographic Man. Dasar teori ini adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi  membentuk cara berpikir, berperilaku, dan bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi selanjutnya di dalam kehidupan manusia. Contohnya dari masyarakat yang belum mengenal huruf menjadi masyarakat yang canggih dengan perlatan cetak maupun electronik. Inti determinisme teori yaitu penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor yang mengubah kebudayaan manusia. Di mana menurut McLuhan, budaya kita dibentuk dari bagaimana cara kita berkomunikasi.
Sedangkan bila kita mengetik kata Utopia” didalam mesin pencari Google di internet, kita akan diberikan 15 juta halaman yang berisikan kata tersebut. 10 hasil awal adalah hal-halyang sama sekali tidak berhubungan dengan “ Utopia” yang kita bahas. Hal ini mencerminkan masih rendahnya antusiasme terhadap topic tersebut, bahkan domain ‘utopia.com’ pun belum masih dimiliki oleh siapapun. Dalam teori Utopia manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya.
1.1 ISI
A. Determinisme Teknologi Marshall McLuhan
Marshall McLuhan adalah pencetus dari teori determinisme teknologi ini pada tahun 1962 melalui tulisannya The Guttenberg Galaxy : The Making of Typographic Man. Dasar teorinya adalah perubahan pada cara berkomunikasi akan membentuk cara berpikir, berperilaku, dan bergerak ke abad teknologi selanjutnya di dalam kehidupan manusia. Sebagai intinya adalah determinisme teori, yaitu penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi merupakan faktor yang mengubah kebudayaan manusia. Di mana menurut McLuhan, eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi.
Perubahan pada mode komunikasi membentuk suatu budaya dengan melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. penemuan dalam teknologi komunikasi
2. perubahan dalam jenis-jenis komunikasi
3. peralatan untuk berkomunikasi
Dengan dilaluinya ketiga tahapan di atas, maka akhirnya peralatan tersebut membentuk atau mempengaruhi kehidupan manusia. Selanjutnya akan terjadi beberapa perubahan besar yang terbagi dalam empat periode/era, yaitu dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini :
Pertama, era kesukuan atau the tribal age. Pada periode ini, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Mengucapkan secara lisan berupa dongeng, cerita, dan sejenisnya.
Kedua, era tulisan atau the age of literacy. Manusia telah menemukan alfabet atau huruf sehingga tidak lagi mengandalkan lisan, melainkan mengandalkan pada tulisan. Ketiga, era cetak atau the print age. Masih ada kesinambungan dengan alfabet, namun lebih meluas manfaatnya karena telah ditemukan mesin cetak. Keempat, era elektronik atau the electronic age. Contoh dari teknologi komunikasi yaitu telephon, radio, telegram, film, televisi, komputer, dan internet sehingga manusia seperti hidup dalam global village.
Teknologi komunikasi yang digunakan dalam media massa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia atau menurut Em Griffin (2003 : 344) disebut nothing remains untouched by communication technology. Dan dalam perspektif McLuhan, bukan isi yang penting dari suatu media, melainkan media itu sendiri yang lebih penting atau medium is the message.
Contoh yang dapat ditemui dalam realita yaitu perkembangan teknologi yang semakin maju membuat segalanya serba ingin cepat dan instan. Teknologi sebagai peralatan yang memudahkan kerja manusia membuat budaya ingin selalu dipermudah dan menghindari kerja keras maupun ketekunan. Teknologi juga membuat seseorang berpikir tentang dirinya sendiri. Jiwa sosialnya melemah sebab merasa bahwa tidak memerlukan bantuan orang lain jika menghendaki sesuatu, cukup dengan teknologi sebagai solusinya. Akibatnya, tak jarang kepada tetangga dekat kurang begitu akrab karena telah memiliki komunitas sendiri, meskipun jarak memisahkan, namun berkat teknologi tak terbatas ruang dan waktu. Solusi agar budaya yang dibentuk di era elektronik ini tetap positif, maka harus disertai dengan perkembangan mental dan spiritual. Diharapkan informasi yang diperoleh dapat diolah oleh pikiran yang jernih sehingga menciptakan kebudayaan-kebudayaan yang humanis.
Marshall McLuhan, media-guru dari University of Toronto, pernah mengatakan bahwa the medium is the mass-age. Media adalah era massa. Maksudnya adalah bahwa saat ini kita hidup di era yang unik dalam sejarah peradaban manusia, yaitu era media massa. Terutama lagi, pada era media elektronik seperti sekarang ini. Media pada hakikatnya telah benar-benar mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku manusia itu sendiri. Kita saat ini berada pada era revolusi, yaitu revolusi masyarakat menjadi massa, oleh karena kehadiran media massa tadi.
McLuhan memetakan sejarah kehidupan manusia ke dalam empat periode: a tribal age (era suku atau purba), literate age (era literal/huruf), a print age (era cetak), dan electronic age (era elektronik). Menurutnya, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat bersifat gradual atau evolusif, akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi.
The Tribal Age. Menurut McLuhan, pada era purba atau era suku zaman dahulu, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu, “hearing is believing”, dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf.
The Age of Literacy. Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan.
The Print Age. Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi.
The Electronic Age. Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi komunikasi. Telegram, telpon, radio, film, televisi, VCR, fax, komputer, dan internet. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja, seketika itu juga.
Inti dari teori McLuhan adalah determinisme teklologi. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi.
Kalau mau kita lihat saat ini tidak ada satu segi kehidupan manusia pun yang tidak bersinggungan dengan apa yang namanya media massa. Mulai dari ruang keluarga, dapur, sekolah, kantor, pertemanan, bahkan agama, semuanya berkaitan dengan media massa. Hampir-hampir tidak pernah kita bisa membebaskan diri dari media massa dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam bahasa Em Griffin (2003: 344) disebutkan, “Nothing remains untouched by communication technology.
McLuhan juga menyebutkan bahwa media massa adalah ekstensi atau perpanjangan dari inderawi manusia (extention of man). Media tidak hanya memperpanjang jangkauan kita terhadap suatu tempat, peristiwa, informasi, tapi juga menjadikan hidup kita lebih efisien. Lebih dari itu media juga membantu kita dalam menafsirkan tentang kehidupan kita.
Medium is the message. Dalam perspektif McLuhan, media itu sendiri lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan oleh media tersebut. Misalkan saja, mungkin isi tayangan di televisi memang penting atau menarik, akan tetapi sebenarnya kehadiran televisi di ruang keluarga tersebut menjadi jauh lebih penting lagi. Televisi, dengan kehadirannya saja sudah menjadi penting, bukan lagi tentang isi pesannnya. Kehadiran media massa telah lebih banyak mengubah kehidupan manusia, lebih dari apa isi pesan yang mereka sampaikan.
Dilema yang kemudian muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi adalah bahwa manusia semakin didominasi oleh teknologi komunikasi yang diciptakannya sendiri. Teknologi komunikasi bukannya dikontrol oleh manusia namun justru kebalikannya, kita yang dikontrol oleh mereka.
Sebagai contoh, betapa gelisahnya kita kalau sampai terlewat satu episode sinetron kesayangan yang biasanya kita tonton tiap hari. Atau mungkin kalau kita sudah lebih dari seminggu tidak membuka halaman Friendster di internet. Satu hari saja tidak menonton televisi mungkin kita akan merasa betapa kita telah ketinggalan berapa banyak informasi hari itu.
Kehadiran media massa, dan segala kemajuan teknologi komunikasi yang lainnya, seharusnya menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Namun ketika yang terjadi justru sebaliknya, kita menjadi didominasi oleh media massa dan teknologi komunikasi yang semakin pesat tersebut, maka ini menjadi sebuah ironi.
  1. Teori Utopia Teknologi
Utopianisme teknologi (sering disebut techno-utopianisme atau technoutopianism) mengacu pada ideologi didasarkan pada keyakinan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada akhirnya akan membawa utopia, atau setidaknya membantu untuk memenuhi satu atau lain yang ideal utopis. Sebuah techno-utopia Oleh karena itu masyarakat yang ideal hipotetis, di mana undang-undang, pemerintah, dan kondisi sosial yang hanya beroperasi untuk kepentingan dan kesejahteraan semua warga negaranya, diatur dalam, dekat-atau jauh-masa depan ketika maju ilmu pengetahuan dan teknologi akan memungkinkan standar-standar hidup yang ideal untuk eksis, misalnya, kelangkaan pos, transformasi di alam manusia, penghapusan penderitaan dan bahkan akhir kematian.
Pada abad ke-21 akhir 20 dan awal, ideologi dan gerakan beberapa, seperti tandingan cyberdelic, Ideologi California, transhumanism, dan Singularitarianism, telah muncul mempromosikan bentuk techno-utopia sebagai tujuan terjangkau. Budaya kritikus Imre Szeman berpendapat utopianisme teknologi merupakan narasi sosial yang tidak rasional karena tidak ada bukti yang mendukungnya. Dia menyimpulkan bahwa apa yang menunjukkan adalah sejauh mana masyarakat modern menempatkan banyak iman dalam narasi Sejarah Teknologi utopianisme dari tanggal 19 sampai pertengahan abad ke-20 Karl Marx percaya bahwa ilmu pengetahuan dan demokrasi adalah tangan kanan dan kiri dari apa yang ia sebut bergerak dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Dia berargumen bahwa kemajuan dalam ilmu pengetahuan membantu mendelegitimasi kekuasaan raja dan kekuasaan Gereja Kristen.
Sosialis abad ke-19, feminis dan republiken [meragukan - mendiskusikan] umumnya pendukung logika dan sains. Techno-utopianisme, ateisme, dan rasionalisme telah dikaitkan dengan Kiri, demokrasi revolusioner dan utopis untuk sebagian besar dua ratus tahun terakhir. Radikal seperti Joseph Priestley mengejar penyelidikan ilmiah sementara advokasi demokrasi dan kebebasan dari tirani agama.
Robert Owen, Charles Fourier, dan Henri de Saint-Simon di awal abad 19 terinspirasi komunalis dengan visi mereka tentang evolusi ilmiah dan teknologi masa depan umat manusia menggunakan akal sebagai agama sekuler. Radikal menangkap evolusi Darwin untuk memvalidasi ide kemajuan sosial. Utopia sosialis Edward Bellamy dalam Looking Backward, yang terinspirasi ratusan klub sosialis di abad ke-19 akhir Amerika Serikat dan partai politik nasional, adalah sebagai teknologi tinggi sebagai imajinasi Bellamy. Untuk Bellamy dan Sosialis Fabian, sosialisme itu harus dibawa sebagai konsekuensi menyakitkan dari pembangunan industri.
Marx dan Engels melihat rasa sakit dan konflik yang terlibat, tetapi setuju tentang akhir tak terelakkan. Marxis berpendapat bahwa kemajuan teknologi meletakkan dasar tidak hanya untuk menciptakan sebuah masyarakat baru, dengan hubungan properti yang berbeda, tetapi juga untuk munculnya manusia baru yang menghubungkan kembali ke alam dan diri mereka sendiri. Di bagian atas agenda kaum proletar diberdayakan adalah “untuk meningkatkan jumlah tenaga produktif secepat mungkin.” Kiri abad ke-19 dan awal ke-20, dari demokrat sosial komunis, difokuskan pada industrialisasi, pembangunan ekonomi dan promosi alasan, ilmu pengetahuan dan gagasan kemajuan.
Salah satu promosi seperti ilmu pengetahuan dan kemajuan sosial adalah promosi eugenika. Memegang bahwa dalam studi keluarga, seperti Jukes dan Kallikaks, ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa banyak ciri seperti kriminalitas dan alkoholisme secara turun temurun, banyak menganjurkan sterilisasi yang menampilkan sifat-sifat negatif. Program sterilisasi paksa yang diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Setelah Auschwitz, optimisme pandangan positivis menyebabkan konsepsi lebih pesimis ilmu pengetahuan. Holocaust, seperti Theodor Adorno digarisbawahi, tampaknya menghancurkan cita-cita Condorcet dan pemikir lain dari Pencerahan, yang sering disamakan dengan kemajuan ilmu pengetahuan kemajuan sosial. Teknologi utopianisme dari akhir abad ke-21 ke-20 dan awal The Goliath totalitarianisme akan dibawa turun oleh David dari microchip.
Ronald Reagan, The Guardian, 14 Juni 1989 Sebuah gerakan techno-utopianisme mulai berkembang lagi dalam budaya dot-com pada tahun 1990-an, terutama di Pantai Barat Amerika Serikat, terutama berbasis di sekitar Silicon Valley. Ideologi California adalah seperangkat keyakinan menggabungkan bohemian dan anti-otoriter sikap dari tandingan dari tahun 1960-an dengan techno-utopianisme dan dukungan untuk kebijakan ekonomi libertarian. Itu tercermin dalam, melaporkan, dan bahkan secara aktif dipromosikan di halaman majalah Wired, yang didirikan di San Francisco pada tahun 1993 dan bertugas selama beberapa tahun sebagai nomor “bible” penganutnya
Bentuk techno-utopianisme mencerminkan keyakinan bahwa perubahan teknologi merevolusi urusan manusia, dan bahwa teknologi digital pada khususnya - yang Internet hanyalah pertanda sederhana - akan meningkatkan kebebasan pribadi dengan membebaskan individu dari pelukan kaku birokrasi pemerintah besar. “Self-diberdayakan pekerja pengetahuan” akan membuat hierarki tradisional berlebihan, komunikasi digital akan memungkinkan mereka untuk melarikan diri kota modern, suatu “sisa usang dari zaman industri”. Penganutnya mengklaim itu melampaui konvensional “kanan / kiri” perbedaan dalam politik dengan rendering politik usang. Namun, techno-utopianisme proporsional menarik pengikut dari ujung kanan libertarian dari spektrum politik. Oleh karena itu, techno-utopian sering memiliki permusuhan terhadap peraturan pemerintah dan kepercayaan keunggulan dari sistem pasar bebas.
Tokoh “nubuat” techno-utopianisme termasuk George Gilder dan Kevin Kelly, editor Wired yang juga menerbitkan beberapa buku. Selama 1990-an booming dot-com, ketika gelembung spekulatif memunculkan klaim bahwa era “kemakmuran permanen” telah tiba, techno-utopianisme berkembang, biasanya antara persentase kecil dari populasi yang karyawan startups internet dan / atau dimiliki sejumlah besar berteknologi tinggi saham. Dengan kecelakaan berikutnya, banyak dari dot com techno-utopian harus mengendalikan beberapa keyakinan mereka dalam menghadapi kembalinya jelas realitas ekonomi tradisional.
Pada akhir 1990-an dan khususnya selama dekade pertama abad ke-21, technorealism dan techno-progresivisme adalah sikap yang telah meningkat di antara para pendukung perubahan teknologi sebagai alternatif penting untuk techno-utopianisme. [8] [9] Namun, utopianisme teknologi tetap dalam abad ke-21 sebagai akibat dari perkembangan teknologi baru dan dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya, wartawan beberapa teknis dan komentator sosial, seperti Mark Pesce, telah menafsirkan fenomena WikiLeaks dan Amerika Serikat kabel diplomatik bocor pada awal Desember 2010 sebagai pendahulu, atau insentif bagi, penciptaan masyarakat techno-utopia transparan.

Prinsip Bernard Gendron, seorang profesor filsafat di University of Wisconsin-Milwaukee, mendefinisikan empat prinsip utopis teknologi modern di akhir abad ke-21 ke-20 dan awal sebagai berikut: Kami saat ini mengalami revolusi (pascaindustri) dalam teknologi; Di era pascaindustri, perkembangan teknologi akan dipertahankan (setidaknya); Di era pascaindustri, perkembangan teknologi akan mengarah pada akhir kelangkaan ekonomi; Penghapusan kelangkaan ekonomi akan mengarah pada penghapusan setiap kejahatan sosial yang besar.
Para kritikus menganggap bahwa identifikasi techno-utopianisme tentang kemajuan sosial dengan kemajuan ilmiah adalah suatu bentuk positivisme dan saintisme. Kritik dari titik yang modern libertarian techno-utopianisme bahwa ia cenderung untuk fokus pada “campur tangan pemerintah” sementara mengabaikan efek positif dari peraturan bisnis. Mereka juga menunjukkan bahwa ia memiliki sedikit untuk mengatakan tentang dampak lingkungan dari teknologi dan ide-ide yang memiliki relevansi sedikit untuk banyak dari sisa dunia yang masih relatif sangat miskin (lihat kesenjangan digital global).
Pada tahun 2010 Kegagalan Sistem studinya: Minyak, keakanan, dan Antisipasi Bencana, Kanada Penelitian Chairholder dalam cultural studies Imre Szeman berpendapat bahwa utopianisme teknologi merupakan salah satu narasi sosial yang mencegah orang dari bertindak pada pengetahuan yang telah mereka mengenai dampak minyak terhadap lingkungan. Lihat alsoprogress dan teknologi mengatasi hal, meskipun semua bukti yang sebaliknya.
1.3 Kesimpulan
Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku itu seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa “melihat dunia”.
Mengikuti teori ini, ada beberapa perubahan besar yang mengikuti perkembangan teknologi dalam berkomunikasi. Masing-masing periode sama-sama memperluas perasaan, dan pikiran manusia. McLuhan membaginya ke dalam empat periode. Di dalam masing-masing kasus yang menyertai perubahan itu atau pergerakan dari era satu ke era yang lain membawa bentuk baru komunikasi yang menyebabkan beberapa macam perubahan dalam masyarakat.
Contoh yang dapat ditemui dalam realita yaitu :
Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat segalanya serba ingin cepat dan instan. Teknologi sebagai peralatan yang memudahkan kerja manusia membuat budaya ingin selalu dipermudah dan menghindari kerja keras maupun ketekunan. Teknologi juga membuat seseorang berpikir tentang dirinya sendiri. Jiwa sosialnya melemah sebab merasa bahwa tidak memerlukan bantuan orang lain jika menghendaki sesuatu, cukup dengan teknologi sebagai solusinya. Akibatnya, tak jarang kepada tetangga dekat kurang begitu akrab karena telah memiliki komunitas sendiri, meskipun jarak memisahkan, namun berkat teknologi tak terbatas ruang dan waktu.
Solusi agar budaya yang dibentuk di era elektronik ini tetap positif, maka harus disertai dengan perkembangan mental dan spiritual. Diharapkan informasi yang diperoleh dapat diolah oleh pikiran yang jernih sehingga menciptakan kebudayaan-kebudayaan yang humanis. 


 

Pemahaman Politik Islam





Imam Hasan Al-Banna menjelaskan, kebangsaan sempit tertolak dalam prinsip Islam dan tergolong bathil, karena berlandaskan pada semangat pertikaian, perpecahan, persaingan (tidak sehat), dan lain-lain.

***
Beberapa Pemahaman Politik Islam
Perlu disebutkan di sini ialah bahwa Imam Hasan Al-Banna terbukti mampu melahirkan pemahaman-pemahaman politik Islam terkait beberapa terminonogi (istilah) politik yang berkembang di Mesir, negeri-negeri Arab dan juga Dunia Islam lainnya. Di antara terminologi tersebut adalah Al-Qaumiyyah (Nasionalisme) serta Al-Wathaniyyah (Cinta Tanah Air). Tentang masalah ini, Imam Hasan Al-Banna mengemukakan istilah-istilah baru terkait dengan prinsip nasionalisme serta menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap prinsip tersebut:
a. Nasionalisme Kebanggaan
Hasan Al-Banna rahimahullah menyebutkan jika ada pihak yang berbangga dengan prinsip nasionalisme dengan maksud ialah kewajiban bagi generasi penerus untuk mengikuti jejak para nenek moyang mereka yang beriman kepada Allah sebagai tuhan mereka yang disembah dan ditaati, dan Islam sebagai sistem hidup, serta nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, lalu mereka menyebarkan Islam sebagai akidah, syariat dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam serta menyinari pola pikir manusia dengan cahaya keimanan, maka ini adalah cita-cita mulia, yang sangat relevan dengan prinsip Islam, bahkan Islam memotivasi tindakan-tindakan seperti itu.
Islam memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM dan para Khulafaurrasyidin yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi terhadap perkembangan dakwah Islam. Di samping Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengikuti para pendahulu yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik mereka demi agama yang mereka anut dan eksplorasi dari pemahaman intisari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin.
b. Nasionalisme Kebangsaan
Jika yang dimaksud dari istilah tersebut, bahwa umatnya harus lebih baik (utama) dengan kebaikan, harta dan segala upaya yang dilakukan sendiri, maka spirit ini seirama dengan prinsip yang dijunjung oleh Islam. Buktinya, infak terhadap karib kerabat bernilai ganda, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahmi dengan kerabat . Inilah yang ditetapkan Allah Ta’ala dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 215:
(يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ) [البقرة: 215]
Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Hal ini juga ditegaskan juga dalam sabda Rasulullah terhadap Abi Thalhah ra, tatkala ia ingin menyedekahkan kebun kurma yang merupakan aset kekayaan yang paling ia cintai, Rasulullah bersabda: Menurutku hendaklah kamu sedekahkan kebun kurma itu pada kerabatmu. Kemudian Thalhah membagikan kebun kurma tersebut pada karib kerabat dan para anak pamannya. (Hadits Muttafaqun ‘Alaih. Lihat Riyadhush-shalihin hadis No 320).
c. Nasionalisme Jahiliyyah
Imam Hasan Al-Banna memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah, karena yang dimaksud oleh para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidupkan kembali oleh partai-partai sekuler yang yang menuduh Islam terbelakang (kuno) sehingga harus dikikis dari realitas kehidupan. Dengan dmikian pemikiran sekuler atau komunisme tersebar luas di tengah masyarakat.
Menyikapi masalah itu Imam Hasan Al-Banna pernah mengeluarkan pernyataan: “Nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat buruk, akan meruntuhkan nila-nilai kemuliaan serta menyebabkan kehilangan watak-watak terpuji. Perlu diketahui pemikiran seperti ini tidak akan merusak dan merugikan agama Allah (Islam) sedikitpun. Firman Allah dalam Qur’an surah Muhammad ayat 38:
(وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ) [محمد: 38]
Artinya: Dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.

d. Nasionalisme Permusuhan
Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Hal ini dapat ditangkap dari makna syair yang sangat populer di era jahiliyyah:
وَمَنْ لاَ يَظْلِم النَّاسَ يُظْلَم
Artinya: Siapa yang tidak menzhalimi orang lain, maka dia yang akan dizhalimi.
Bahkan dalam komunitas masyarakat jahiliyyah, perbuatan aniaya dan kezhaliman merupakan keutamaan, sementara orang yang tidak berbuat zhalim berhak dicemooh dan dicela. Ini merupakan makna perkataan penyair yang mencaci Bani ‘Ajlan: “Mereka tidak sanggup menzhalimi orang lain kendati sebesar biji sawi”.
Tipologi nasionalisme ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam dan perikemanusiaan, karena hanya akan berakibat pada perselisihan dan pertikaian yang tak berujung antar umat manusia, sehingga terjebak dalam permasalahan yang tidak ada kebaikan di dalamnya.
Setelah Imam Hasan Al-Banna mengetengahkan beragam nasionalisme yang tak relevan dengan konsep Islam, kemudian Beliau mengatakan: “Ikhwanul Muslimin tidak memahami nasionalisme dalam implikasi di atas, sehingga jamaah Ikhwan tidak mengakui keberadaan istilah Fira’unisme, Arabisme, Pinokioisme, syryanisme dan sebagainya. Isme-isme di atas tidak berarti sama sekali dalam Islam. Tapi Ikhwanul Muslimin meyakini sabda Rasulullah yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena sesungguhnya manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah, sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang a’jam (non Arab) kecuali dengan taqwa mereka.
e. Nasionalisme Islam
Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa prinsip nasionalisme Islam berlandaskan pada ikatan aqidah. Setiap yang beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah, Islam sebagai agama (sistem hidup), Muhammad sebagai Nabi dan Rasul maka –dalam pandangan Ikhwanul Muslimin- ia termasuk dalam elemen umat Islam, sehingga Muslim lain berkewajiban membantu, menolong, bersedia berkorban nyawa dan harta demi melindungi saudaranya tersebut.
Ketika menulis risalah “Akan kemanakah kita dakwahi manusia” dengan judul “Nasionalisme Kita, Apa Landasannya?” Beliau mengutip ayat-ayat yang memberikan sinyalemen seputar wala’ (loyalitas) terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Beliau juga menjelaskn posisi para pendahulu kita dari kalangan orang-orang shalih yang selalu menisbatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, sehingga mereka senantiasa berpegang teguh pada agama Islam yang kokoh dan menjadi saudara yang saling mencintai karena Allah, meskipun berbeda kelompok, suku bangsa, dan kondisi. Sampai-sampai mereka hanya bangga dengan penisbatan diri terhadap Islam. Salah seorang di antara mereka ditanya: Anda dari suku mana? Anda orang Tamim ataukah orang Qais? Lantas dia menjawab: “Bapak saya “Islam” dan saya tidak punya bapak selain Islam.” Beliau mengungkapkan hal tersebut dikala orang-orang malah berbangga-bangga dengan suku Qais atau Tamim.
Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa nasionalisme Islam adalah nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun. Karena menurut Beliau, ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa terjadi karena hubungan aqidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi.
f. Kebangsaan
Imam Hasan Al-Banna menguraikan dalam “risalah Dakwatuna Fi Thaurin Jadi” bahwa di sana-sini muncul beragam propaganda yang santer terdengar pada zaman ini yang ditimbang dengan timbangan Islam. Yang seiring dengan prinsip Islam kita terima, sementara yang bertentangan dengan prinsip Islam kita berlepas diri darinya (tolak).
Bertolak dari cara pandang ini, Imam Hasan Al-Banna melakukan analisa dan pengkajian khusus terhadap rasa cinta tanah air (patriotism) bila ditinjau dari aspek-aspek negatif dan positifnya. Dan akhirnya Beliau menyimpulkan bagaimana konsep politik Islam terhadap implikasi dari kebangsaan atau cinta tanah air tersebut.
Beliau menegaskan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk mencintai negeri dan tumpah darah mereka, serta melakukan tindakan bela negara dan tanah air mereka di saat kondisi menuntut demikian. Bahkan hampir di seluruh buku fiqih Islam ditemukan pembahasan mengenai bab tindakan bela negara yang diberi judul dengan “Bab Jihad”. Karena jihad adalah upaya bela negara dan tanah air, warga negara, harta dan kehormatan.
Beliau beristidlal (mengambil dalil) dari pemahaman akan kecintaan dan kerinduan Rasulullah terhadap kota Makkah. Disebutkan dalam shahih Bukhari, Rasulullah bersabda:
وَاللهِ إِنَّكَ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَيَّ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ أُخْرَجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Artinya: Demi Allah, engkau adalah negeri Allah yang paling istimewa, engkau adalah negeri Allah yang paling kucinta, jikalau bukan karena aku diusir dari negeri ini, mungkin aku tidak akan keluar -dari kota ini (Makkah)-.
Bilal bin Rabbah yang tidak memiliki sejengkal lahan pun di Makkah, namun karena pernah lama hidup di sana sehingga kecintaan hatinya telah melekat terhadap kota Makkah, bahkan Beliau tak sanggup membendung tangisannya ketika bernostalgia dengan kota ini. Bilal pernah bersenandung:
ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة
بواد وحولي إذخر وجليل
وهل أريدن يوما مياه مجنة
وهل يبدون لي شامة وطفيل
Andai: kiranya diri ini masih sempat melewati indahnya keheningan malam, kendati satu malam di sebuah lembah yang dikelilingi rerumputan dan orang-orang mulia,
akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu
masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?
Begitulah Bilal merindukan tidur di salah satu lembah kota Makkah, melihat tumbuh-tumbuhan kecil yang memiliki aroma yang harum, meminum dan membasahi matanya dengan air Makkah serta melihat di gunungnya yang bernama Syammah dan Thufail.
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan sesungguhnya pengukuhan ikatan antara individu-individu yang hidup pada suatu wilayah tertentu atas dasar taqwa dan perwujudan cita-cita hidup dunia dan akhirat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hujjah Beliau adalah sabda Rasul SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM:
وَكُوْنُوْا عِبَادَ الله إِخْوَانًا
Artinya: Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Dan firman Allah dalam Qur’an surah Ali Imran 118:
(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Pemekaran wilayah kekuasaan Islam serta penaklukkan wilayah-wilayah baru dengan sarana jihad fi sabilillah. Ini juga termasuk dalam kategori kewajiban Islam. Dalil Beliau adalah firman Allah dalamn Qur’an Surah Al-Baqarah 193:
(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنةٌ وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ) [البقرة: 193]
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
g. Kebangsaan sempit
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kebangsaan sempit tertolak dalam prinsip Islam dan bathil, karena berlandaskan pada semangat dan spirit pertikaian, perpecahan, persaingan (tidak sehat), kastaisasi bangsa ke dalam beberapa kelompok yang saling bercatur dan saling dengki satu sama lain, saling tuduh dan tuding, sebagian melakukan konspirasi terhadap sbagaian yang lain, puas dengan hukum ciptaan manusia yang dilandaskan hawa nafsu dan dibentuk oleh tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan berdasarkan maslahat pribadi.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka tak perlu berusaha ekstra dan tinggal mengeksploitir permusuhan-permusuhan tersebut demi perwujudan kepentingan dan misi mereka. Bahkan, di satu waktu musuh Islam malah makin menyulut api perpecahan sehingga permasalahan tersebut akan tetap menjadi sumber malapetaka bagi umat dan negeri-negeri mereka.
Menilai kebangsaan sempit tersebut, Imam Hasan Al-Banna berkata: “Itu adalah bentuk kebangsaan palsu yang tak akan mendatangkan faidah bagi para penyerunya dan tidak pula bagi umat manusia”.




Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.
Sumber tulisan: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.



ukhti ku