Imam Hasan
Al-Banna menjelaskan, kebangsaan sempit tertolak dalam prinsip Islam dan
tergolong bathil, karena berlandaskan pada semangat pertikaian, perpecahan,
persaingan (tidak sehat), dan lain-lain.
***
Beberapa Pemahaman Politik Islam
Perlu disebutkan di sini ialah bahwa Imam Hasan
Al-Banna terbukti mampu melahirkan pemahaman-pemahaman politik Islam terkait beberapa
terminonogi (istilah) politik yang berkembang di Mesir, negeri-negeri Arab dan
juga Dunia Islam lainnya. Di antara terminologi tersebut adalah Al-Qaumiyyah
(Nasionalisme) serta Al-Wathaniyyah (Cinta Tanah Air). Tentang masalah ini,
Imam Hasan Al-Banna mengemukakan istilah-istilah baru terkait dengan prinsip
nasionalisme serta menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap prinsip
tersebut:
a. Nasionalisme Kebanggaan
Hasan Al-Banna rahimahullah menyebutkan jika ada
pihak yang berbangga dengan prinsip nasionalisme dengan maksud ialah kewajiban
bagi generasi penerus untuk mengikuti jejak para nenek moyang mereka yang
beriman kepada Allah sebagai tuhan mereka yang disembah dan ditaati, dan Islam
sebagai sistem hidup, serta nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, lalu mereka
menyebarkan Islam sebagai akidah, syariat dan pandangan hidup, menerapkan hukum
dengan keadilan Islam serta menyinari pola pikir manusia dengan cahaya
keimanan, maka ini adalah cita-cita mulia, yang sangat relevan dengan prinsip
Islam, bahkan Islam memotivasi tindakan-tindakan seperti itu.
Islam memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak
Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM dan para Khulafaurrasyidin yang
memiliki komitmen dan dedikasi tinggi terhadap perkembangan dakwah Islam. Di samping
Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengikuti para pendahulu yang telah
mempersembahkan karya-karya terbaik mereka demi agama yang mereka anut dan
eksplorasi dari pemahaman intisari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin.
b. Nasionalisme Kebangsaan
Jika yang dimaksud dari istilah tersebut, bahwa
umatnya harus lebih baik (utama) dengan kebaikan, harta dan segala upaya yang
dilakukan sendiri, maka spirit ini seirama dengan prinsip yang dijunjung oleh
Islam. Buktinya, infak terhadap karib kerabat bernilai ganda, yaitu pahala
sedekah dan pahala silaturrahmi dengan kerabat . Inilah yang ditetapkan Allah
Ta’ala dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 215:
(يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ
قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ
خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ) [البقرة: 215]
Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Hal ini juga ditegaskan juga dalam sabda
Rasulullah terhadap Abi Thalhah ra, tatkala ia ingin menyedekahkan kebun kurma
yang merupakan aset kekayaan yang paling ia cintai, Rasulullah bersabda:
Menurutku hendaklah kamu sedekahkan kebun kurma itu pada kerabatmu. Kemudian
Thalhah membagikan kebun kurma tersebut pada karib kerabat dan para anak
pamannya. (Hadits Muttafaqun ‘Alaih. Lihat Riyadhush-shalihin hadis No 320).
c. Nasionalisme Jahiliyyah
Imam Hasan Al-Banna memberikan warning tegas terhadap prinsip
nasionalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah, karena yang dimaksud oleh para
penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali
semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti
semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain,
kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan
sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia.
Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidupkan kembali oleh
partai-partai sekuler yang yang menuduh Islam terbelakang (kuno) sehingga harus
dikikis dari realitas kehidupan. Dengan dmikian pemikiran sekuler atau
komunisme tersebar luas di tengah masyarakat.
Menyikapi masalah itu Imam Hasan Al-Banna pernah
mengeluarkan pernyataan: “Nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat
buruk, akan meruntuhkan nila-nilai kemuliaan serta menyebabkan kehilangan
watak-watak terpuji. Perlu diketahui pemikiran seperti ini tidak akan merusak
dan merugikan agama Allah (Islam) sedikitpun. Firman Allah dalam Qur’an surah
Muhammad ayat 38:
(وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ
ثُمَّ لاَ يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ) [محمد: 38]
Artinya: Dan jika kamu berpaling niscaya dia akan
mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
d. Nasionalisme Permusuhan
Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan
pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini
telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Hal ini
dapat ditangkap dari makna syair yang sangat populer di era jahiliyyah:
وَمَنْ لاَ يَظْلِم النَّاسَ يُظْلَم
Artinya: Siapa yang tidak menzhalimi orang lain,
maka dia yang akan dizhalimi.
Bahkan dalam komunitas masyarakat jahiliyyah,
perbuatan aniaya dan kezhaliman merupakan keutamaan, sementara orang yang tidak
berbuat zhalim berhak dicemooh dan dicela. Ini merupakan makna perkataan
penyair yang mencaci Bani ‘Ajlan: “Mereka tidak sanggup menzhalimi orang lain
kendati sebesar biji sawi”.
Tipologi nasionalisme ini sangat bertentangan
dengan prinsip Islam dan perikemanusiaan, karena hanya akan berakibat pada
perselisihan dan pertikaian yang tak berujung antar umat manusia, sehingga
terjebak dalam permasalahan yang tidak ada kebaikan di dalamnya.
Setelah Imam Hasan Al-Banna mengetengahkan
beragam nasionalisme yang tak relevan dengan konsep Islam, kemudian Beliau
mengatakan: “Ikhwanul Muslimin tidak memahami nasionalisme dalam implikasi di
atas, sehingga jamaah Ikhwan tidak mengakui keberadaan istilah Fira’unisme,
Arabisme, Pinokioisme, syryanisme dan sebagainya. Isme-isme di atas tidak
berarti sama sekali dalam Islam. Tapi Ikhwanul Muslimin meyakini sabda
Rasulullah yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ
نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ
تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah
menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena
sesungguhnya manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah, sehingga
orang Arab tidak lebih baik dibanding orang a’jam (non Arab) kecuali dengan
taqwa mereka.
e. Nasionalisme Islam
Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa prinsip
nasionalisme Islam berlandaskan pada ikatan aqidah. Setiap yang beriman kepada
Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah, Islam sebagai agama (sistem
hidup), Muhammad sebagai Nabi dan Rasul maka –dalam pandangan Ikhwanul Muslimin-
ia termasuk dalam elemen umat Islam, sehingga Muslim lain berkewajiban
membantu, menolong, bersedia berkorban nyawa dan harta demi melindungi
saudaranya tersebut.
Ketika menulis risalah “Akan kemanakah kita
dakwahi manusia” dengan judul “Nasionalisme Kita, Apa Landasannya?” Beliau
mengutip ayat-ayat yang memberikan sinyalemen seputar wala’ (loyalitas)
terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Beliau juga menjelaskn
posisi para pendahulu kita dari kalangan orang-orang shalih yang selalu menisbatkan
diri mereka kepada Allah Ta’ala, sehingga mereka senantiasa berpegang teguh
pada agama Islam yang kokoh dan menjadi saudara yang saling mencintai karena
Allah, meskipun berbeda kelompok, suku bangsa, dan kondisi. Sampai-sampai
mereka hanya bangga dengan penisbatan diri terhadap Islam. Salah seorang di
antara mereka ditanya: Anda dari suku mana? Anda orang Tamim ataukah orang
Qais? Lantas dia menjawab: “Bapak saya “Islam” dan saya tidak punya bapak
selain Islam.” Beliau mengungkapkan hal tersebut dikala orang-orang malah
berbangga-bangga dengan suku Qais atau Tamim.
Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa
nasionalisme Islam adalah nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung
seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun.
Karena menurut Beliau, ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan
darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa
terjadi karena hubungan aqidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa
manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi.
f. Kebangsaan
Imam Hasan Al-Banna menguraikan dalam “risalah
Dakwatuna Fi Thaurin Jadi” bahwa di sana-sini muncul beragam propaganda yang
santer terdengar pada zaman ini yang ditimbang dengan timbangan Islam. Yang
seiring dengan prinsip Islam kita terima, sementara yang bertentangan dengan
prinsip Islam kita berlepas diri darinya (tolak).
Bertolak dari cara pandang ini, Imam Hasan
Al-Banna melakukan analisa dan pengkajian khusus terhadap rasa cinta tanah air
(patriotism) bila ditinjau dari aspek-aspek negatif dan positifnya. Dan
akhirnya Beliau menyimpulkan bagaimana konsep politik Islam terhadap implikasi
dari kebangsaan atau cinta tanah air tersebut.
Beliau menegaskan bahwa Islam mewajibkan umatnya
untuk mencintai negeri dan tumpah darah mereka, serta melakukan tindakan bela
negara dan tanah air mereka di saat kondisi menuntut demikian. Bahkan hampir di
seluruh buku fiqih Islam ditemukan pembahasan mengenai bab tindakan bela negara
yang diberi judul dengan “Bab Jihad”. Karena jihad adalah upaya bela negara dan
tanah air, warga negara, harta dan kehormatan.
Beliau beristidlal (mengambil dalil) dari
pemahaman akan kecintaan dan kerinduan Rasulullah terhadap kota Makkah. Disebutkan dalam shahih Bukhari,
Rasulullah bersabda:
وَاللهِ إِنَّكَ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ
أَرْضِ اللهِ إِلَيَّ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ أُخْرَجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Artinya: Demi Allah, engkau adalah negeri Allah
yang paling istimewa, engkau adalah negeri Allah yang paling kucinta, jikalau
bukan karena aku diusir dari negeri ini, mungkin aku tidak akan keluar -dari
kota ini (Makkah)-.
Bilal bin Rabbah yang tidak memiliki sejengkal
lahan pun di Makkah, namun karena pernah lama hidup di sana
sehingga kecintaan hatinya telah melekat terhadap kota
Makkah, bahkan Beliau tak sanggup membendung tangisannya ketika bernostalgia
dengan kota
ini. Bilal pernah bersenandung:
ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة
بواد وحولي إذخر وجليل
وهل أريدن يوما مياه مجنة
وهل يبدون لي شامة وطفيل
بواد وحولي إذخر وجليل
وهل أريدن يوما مياه مجنة
وهل يبدون لي شامة وطفيل
Andai: kiranya diri ini masih sempat melewati
indahnya keheningan malam, kendati satu malam di sebuah lembah yang dikelilingi
rerumputan dan orang-orang mulia,
akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu
masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?
akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu
masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?
Begitulah Bilal merindukan tidur di salah satu
lembah kota
Makkah, melihat tumbuh-tumbuhan kecil yang memiliki aroma yang harum, meminum
dan membasahi matanya dengan air Makkah serta melihat di gunungnya yang bernama
Syammah dan Thufail.
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan sesungguhnya
pengukuhan ikatan antara individu-individu yang hidup pada suatu wilayah
tertentu atas dasar taqwa dan perwujudan cita-cita hidup dunia dan akhirat
merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hujjah Beliau adalah sabda Rasul
SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM:
وَكُوْنُوْا
عِبَادَ الله إِخْوَانًا
Artinya: Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara.
Dan firman Allah dalam Qur’an surah Ali Imran
118:
(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي
صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan
apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Pemekaran wilayah kekuasaan Islam serta penaklukkan
wilayah-wilayah baru dengan sarana jihad fi sabilillah. Ini juga termasuk dalam
kategori kewajiban Islam. Dalil Beliau adalah firman Allah dalamn Qur’an Surah
Al-Baqarah 193:
(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنةٌ
وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ) [البقرة: 193]
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
g. Kebangsaan sempit
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kebangsaan sempit
tertolak dalam prinsip Islam dan bathil, karena berlandaskan pada semangat dan
spirit pertikaian, perpecahan, persaingan (tidak sehat), kastaisasi bangsa ke
dalam beberapa kelompok yang saling bercatur dan saling dengki satu sama lain,
saling tuduh dan tuding, sebagian melakukan konspirasi terhadap sbagaian yang
lain, puas dengan hukum ciptaan manusia yang dilandaskan hawa nafsu dan
dibentuk oleh tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan berdasarkan maslahat
pribadi.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh musuh-musuh
Islam, sehingga mereka tak perlu berusaha ekstra dan tinggal mengeksploitir permusuhan-permusuhan
tersebut demi perwujudan kepentingan dan misi mereka. Bahkan, di satu waktu
musuh Islam malah makin menyulut api perpecahan sehingga permasalahan tersebut
akan tetap menjadi sumber malapetaka bagi umat dan negeri-negeri mereka.
Menilai kebangsaan sempit tersebut, Imam Hasan
Al-Banna berkata: “Itu adalah bentuk kebangsaan palsu yang tak akan
mendatangkan faidah bagi para penyerunya dan tidak pula bagi umat manusia”.
Buku: Fikih Politik Menurut Imam
Hasan
Al-Banna.
Sumber tulisan: Dr. Muhammad Abdul Qadir
Abu
Faris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar